KASUS SAIR SULTAN MAHMUD DI LINGGA

KARYA SASTRA SEJARAH DAN FUNGSINYA

 KASUS SAIR SULTAN MAHMUD DI LINGGA

 1.      Karya Sastra Sejarah

Hubungan sastra dengan sejarah sudah lama menjadi bahan perbincangan, terutama di kalangan akademik. Perhatian itu datang baik dari kalangan sastra maupun dari kalangan sejarah.

Didalam kesusastraaan Indonesia lama ada sejumlah naskah yang oleh Winstedt (1969:155) dikategorikan ke dalam “Malay Histories”; misalnya Hikayat Rja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, dan Silsilah Melayucdan Bugis. Bahwa istilah Malay Histories sebenarnya menyesatkan, sudah lama dirasakan oleh para ahli. Walaupun karya-karya tersebut menampilkan tokoh-tokoh yang namanya dikenal di dalam sejarah serta peristiwa-peristiwa dari sejarah, atau berlatar suatu masa di dalam sejarah, persyratan kesejarahan seperti rincian tanggal, urutan kronologi, dan kebenaran factual tidak diperhatian. Bnaykanya sisipan mitos, dongeng, legenda, dan sebagainya menyebabkan para ahli sejarah menghadapi kesulitan di dalam arti yang modern. Oleh sebab itu, karya-karya tersebut dinilai rendah sebagai sumber sejarah formal.

Sesungguhnya karya-karya tersebut memang tidak sepenuhnya dimakudkan sebagai rekaman sejarah untuk dijadikan acuan penyusunan sejarah yang kristis. Karya-karya tersebut lebih tepat disebut karya sastra sejarah ( Liaw, 1993:203) atau karya sastra yang bertema sejarah.

2.      Sair Sultan Mahmud di Lingga ( SSML)

Di dalam bukunya Sejarah Kesustraan Melayu Klasik oleh Liaw 1993:227) karya sastra ini digolongkan syair sejarah. Adapun Winstedt (1969) sama sekali tidak menyebut karya ini di dalam bukunya, A History of Classical Malay Literature. Menurut Team (1972:242), naskah SSML  ini naskah tunggal yang tersimpan di  Museum Pusat (sekarang di Bagia Pernaskahan Perpustakaan Nasional, Jakarta) sebgai ML 746.

Panjang syair SSML ini 1109 bait. Tidak ada kolofon atau cap kertas yang dapat menggunakan identitas pengarang dan tahun penulisanya. Menurut Hamidy, syair ini digubah pada tahun 1311 H atau 1893 M oleh Raja Hitam berdasarkan naskah Syair Perjalanan Sultan Mahmud Lingga Riau yang kini tidak lagi terbaca (Hamidy dkk., 1981:28).

3.      Sultan Mahmud Mujaffar Syah di Dalam Sejarah

Sultan Mahmud Mujaffar Syah yang lebih dikenal sebagai Sultan Mahmud (Matheson, 1986; lihat juga syair SSML) adalah tokoh di dalam sejarah yang memerintah kesultanan Lingga pada tahun 1853-1857 M (Matheson, 1986:15). Akan tetapi, informasi sangat sedikit terdapat di dalam buku-buku sejarah di dalam arti yang modern.

Menurut sumber sejarah Riau tersebut, pada tahun 1836 Belanda memaksa Sultan Mahmud yang besar pengaruhnya sampai ke Johor, Pahang, dan Trengganu, untuk memerangi orang-orang yang dianggap menggangu keamanan pelayaran kapal-kapal Belanda dan Inggris. Namun Sultan Mahmud tidak menuruti kehendak mereka. Keinginan Sultan Mahmud untuk mengusai kembali daerah kesultanan Melayu Riau di Semenanjung Malaka (daerah protektorat Inggris) bertentangan dengan kepentingan Belanda. Oleh sebab itu, ketika Sultan Mahmud berada di singapura, Belanda mencabut semua haknya dan memecatnya sebagai sultan. Pamanya yang bernama Tengku Sulaiman kemudian diangkat oleh Belanda sebagai penggantianya Sultan Mahmud terus berusaha merebut kembali kekuasaannya itu melalui propaganda, tetapi tetap tidak berhasil.

Menurut Winstedt (1969:165), Tuhfat Al-Nafis yang diawali penulisannya pada tahun 1865, mengemukakan sejarah Singapura, Malaka, serta hubungan sejarah Johor dengan Bugis, negeri-=negeri Melayu lainnya, serta Belanda sampai tahun 1860-an dan menyatakan waktu terjadinya dengan hamper pasti. Namun, harus diingat bahwa ckarya sastra ini disusun oleh Raja Haji Ahmad serta putranya, Raja Ali Haji; terasa bahwa pengarang sebagai orang keturunan Bugis, mengagungkan orang Bugis dan di sana-sini memperkecil peran orang Melayu.

  1. Pengarang SSML

Untuk menulis sebuah karya sastra pada masa lalu, diperlukan kearifan, bakat, waktu-mengigat semua ditulis dengan tangan-, dan biaya yang tidak sedikit-karena pekerjaan lain sebagai pencaharian nafkah harus disisihkan demi terlaksannya penulisan karya tersebut. Tidak mengherankan bahwa kebanyakan pengrang mempunyai seorang patron yang sekaligus menjadi pemesan mempunyai karyanya itu.

Seperti telah disebutkan di atas, hanya satu sumber yang memberikan informasi tentang SSML, yaitu buku Pengarang Melayu dalam Kerajaan Riau dan Abdullah bin Abdukadir Munsyi dalam karya sastra Melayu (Hamidy dkk.,m 1981). Menurut sumber tersebut, Raja Hitam-yang di dalam buku Perjalanan Sultan Lingga disebut Khalid Hitamj bin Raja Hasan al-Haji Riau-mengubah syair Perjalanan Sultan Mahmud Lingga Riau yang pernh dicetak di pulau Penyengat pada tahun 1331 H atau 1893 M, tetapi sekarang tidak lagi dapat ditemukan. Naskah ini menjadi naskah induk SSML. Adapun Raja Hitam, menurut sumber tersebut, adalah Bentara Kiri Kerajaan Riau yang setelah Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dipecat oleh Belanda pada tahun 1911 M, oleh pihak Melayu dikirimkan ke Jepang untuk mencari dukungan bagi usaha mereka melepaskan diri dari kekuasaan Belanda. Raja Hitam meninggal di Jepang pada tahun 1913 M.

  1. Fungsi SSML

Karya sastra sejarah seperti SSML memang tidak dapat menjadi sumber sejarah di dalam arti yang sebenarnya, tetapi dapat merupakan sumber bandingan untuk penulisan sejarah.

Menurut cacatan sejarah, Sultan Mahmu berkuasa di Lingga selama 22 tahun, yaitu tahun 1835-1857. Adapun Raja Hitam mengubah SSML pada tahun 1893; jadi, 36 tahun setelah Sultan Mahmud meninggal. Kemungkinan pertama, Sultan Mahmud memeng Sultan yang memerintah dengan baik, dan itu dikenal orang, bahkan sampai 36 tahun kemudian, sehingga patutlah namanya diabadikan di dalam syair yang 1190 bait panjangnya itu. Bahwa naskah itu tidak disalin-salin lagi sehingga akhirnya menjadi sebuah code unicus (Team, 1972:242), besar kemungkinan karena suasana dan situasi pada waktu itu tidak favourable mengingat perpindahan kekuasaan yang terjadi dari pihak Melayu kepada pihak Barat.

 

Tinggalkan komentar